Pages

Subscribe:

Pengikut

Rabu, 03 Agustus 2011

PERILAKU SCHOOL BULLYING; MASALAH SOSIALDALAM DUNIA PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan formal (Sekolah) merupakan agen sosialisasi setelah keluarga, dimana seorang anak mulai mempelajari nilai-nilai baru yang tidak diperolehnya dalam keluarga. Sekolah merupakan sarana untuk mempersiapkan seorang anak untuk menghadapi peranannya dalam masyarakat. Robert Dreeben (1968) berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah, selain membaca, menulis dan berhitung, adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universlism),  dan spesifisitas.
Pada sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan awal seperti Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, peranan guru sangat besar bahkan dominan.  Pada taraf pendidikan formal tersebut, guru mempunyai peranan yang cenderung mutlak di dalam membentuk dan mengubah pola perilaku anak didik. Keadaan berubah setelah anak ( yang sudah menjadi remaja) memasuki Sekolah Menengah Atas. Peran guru dalam membentuk dan mengubah perilaku anak didik dibatasi dengan peran anak didik itu sendiri dalam membentuk dan mengubah perilakunya. Sudah tentu bahwa guru masih tetap berperan di dalam hal membimbing anak didiknya agar mempunyai motivasi yang besar untuk menyelesaikan studinya dengan baik dan benar. Setidaknya itulah yang menjadi peranan yang sangat diharapkan dari guru di tingkat Sekolah Menengah Atas.
 Para siswa yang terdiri dari para remaja sudah mulai mempunyai sikap tertentu, kepribadiannya mulai terbentuk dan menuju kemandirian. Oleh karena itu, para remaja mulai mengkritik keadaan sekolah yang kadang-kadang tidak memuaskan baginya. pada tingkat pendidikan ini, ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat. Hal ini karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami mereka, sehingga hanya dengan seusianya ada kedekatan fisik ataupun psikis. Mereka kadang-kadang bergurau melampaui batas kewajaran sehingga tidak disadari membuat orang lain sekitarnya menderita, dan bila diperingatkan biasanya tidak mau menerima dan  bahkan berbuat lebih dahsyat lagi. Hal yang demikian itu membuat remaja bangga dengan perbuatan yang dianggap tidak wajar.
Masalah-masalah yang dipaparkan di atas merupakan tindakan-tindakan bullying. Tindakan bullying sebenarnya bisa terjadi dimana saja, baik di sekolah,di rumah, maupun dilingkungan sekitar. Pada makalah ini penulis hanya akan membahas tindakan-tindakan bullying yang terjadi di sekolah atau yang lebih di kenal dengan school bullying, dan bahasannya hanya akan terfokus pada tindakan bullying yang dilakukan oleh siswa khususnya siswa sekolah menengah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
  • *      Apa saja bentuk-bentuk school bullying
  • *      Apa yang menyebabkan terjadinya school bulying
  • *      Siapa pelakunya, karakterstik dan tipe bullies
  • *      Dampak yang ditimbulkan oleh perilaku bullying
  • *      Upaya penanganan; pencegahan dan penghapusan perilaku bullying

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menelusuri lebih mendalam mengenai apa itu perilaku bullying, upaya pencegahannya perilaku bullying, serta dampak yang ditimbulkan dari perilaku bullying baik terhadap korban bullying maupun pelaku bullying itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Bullying
Bullying (arti harfiahnya: penindasan) adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang secara berulang yang memanfaatkan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary, bullying adalah “a blustering rowbeating person; especially one who is habitually cruel to others who are weaker.” Melakukan bullying berarti to “treat someone abusively or to affect them by means of force or coercion.”. Center for Children and Families in the Justice System mendefinisikan bullying sebagai , “repeated and systematic harassment and attacks on others.Bullying bisa terjadi dalam berbagai format dan bentuk tingkah laku yang berbeda-beda. Di antara format dan bentuk tersebut adalah; nama panggilan yang tidak disukai, terasing, penyebaran isu yang tidak benar, pengucilan, kekerasan fisik, dan penyerangan (mendorong, memukul, dan menendang), intimidasi, pencurian uang atau barang lainnya, bisa berbasis suku, agama, gender, dan lain-lain.
Bullying merupakan suatu bentuk ekspresi, aksi bahkan perilaku kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi pengertian bullying sebagai "kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi dan tidak berdaya."Bullying biasanya dilakukan berulang sebagai suatu ancaman, atau paksaan dari seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain. Bila dilakukan terus menerus akan menimbulkan trauma, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Kejadian tersebut sangat mungkin berlangsung pada pihak yang setara, namun, sering terjadi pada pihak yang tidak berimbang secara kekuatan maupun kekuasaan. Salah satu pihak dalam situasi tidak mampu mempertahankan diri atau tidak berdaya. Korban bullying biasanya memang telah diposisikan sebagai target. Bullying sering kita temui pada hubungan sosial yang bersifat subordinat antara senior dan junior.

2.2 School Bullying
School Bullying termasuk dalam tindakan kekerasan yang merugikan orang lain. Disebut kekerasan karena tindakan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain, atau biasa juga dengan tujuan tertentu, misalnya mencari perhatian, menginginkan kekuasaan di sekolah, ingin dibilang jagoan, pamer atau menunjukan kekayaan seperti motor baru.
Selama ini upaya mengidentifikasi tindakan bullying siswa mengalami hambatan. Perilaku bullying terselubung dan para korban yang enggan atau takut melaporkan tindakan bullying yang dialaminya membuat para guru dan orang tua siswa tidak dapat mendeteksi adanya tindakan bullying di sekolah. Tidak hanya itu, selama ini kampanye anti-bullying di sekolah dan masyarakat juga masih sedikit dan terbatas.
Bullying bisa dilakukan secara individual maupun berkelompok. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan kasus ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya, menurut catatan Bimmas Polri Metro Jaya, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar; tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain; tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri; dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan, sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
Penelitian yang dilakukan oleh Dorothy Espelage, menunjukkan indikasi bahwa perilaku bullying menggejala secara umum. Para siswa melaporkan terjadinya bullying yang dilakukan antarsesama mereka. Sebagian mengatakan bahwa mereka melakukannya karena ikut-ikutan. Artinya, sebenarnya mereka tidak ingin melakukan bullying terhadap temannya, tetapi merasa takut untuk melawan kehendak kelompok gangnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Tonja Nansel dan kawan-kawan, mendapatkan bahwa 17 persen dari siswa melaporkan bahwa mereka menjadi korban bullying di sekolah, sedangkan 19 persen mengaku melakukan bullying terhadap temannya. Enam persen melaporkan mereka menjadi pelaku sekaligus korban bullying.

2.3 Bentuk-Bentuk Perilaku School Bullying
A. Kontak fisik langsung
Kontak fisik langsung adalah serangan fisik yang dilakukan secara langsung, dapat berupa memukul, mendorong, menendang, dan lainnya yang merupakan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan adalah salah satu bentuk manifestasi rasa marah yang bersifat agresif malignant (berat) yang menyebabkan kesakitan atau kerusakan pada obyek sasarannya. Menurut Susilaningsih, ada dua faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya sifat bertindak kekerasan ini, pertama, rasa marah yang tidak memperoleh pembinaan untuk menjadi perilaku positif dan produktif. Kedua, lingkungan (keluarga, masyarakat, dan media) yang sering memberi contoh bentuk tindak kekerasan sebagai ekspresi dari rasa amarah, sehingga tidak sadar meniru tindakan itu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu contoh tindak kekerasan adalah tawur antar remaja.
Faktor primer yang menjadi pemicu terjadinya tawur antar sekolah adalah adanya, (1) mitos sekolah sebagai ahli tawur, (2) ideologi tawur yang disosialisasikan oleh siswa senior, pada sekolah tertentu, (3) individu-individu potensial penyulut tawur, (4) dibentuknya sikap loyalitas sukarela dan terpaksa mendukung tawur, (5) lemahnya sanksi terhadap tindakan tawur. Sedangkan faktor sekunder adalah suasana sekolah yang tidak mendukung berkembangnya aspek positif. Hal ini terjadi karena, (1) tiadanya kurikulum yang memberi tempat secara spesifik bagi kekerasan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Bentuk-bentuk perilaku semacam ini bisa jadi karena masa pubertas.
B. Perilaku Non-verbal langsung
Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh secara langsung oleh pelaku bullying. Contoh yang sering terjadi di sekolah adalah pandangan sinis, menampilkan ekspresi wajah yang merendahkan dan lainnya. Ada hal yang nampaknya sederhana tetapi sesungguhnya menyakitkan orang lain, perilaku ini misalnya mengabaikan lawan bicara, mengalihkan pandangan, dan gerkan-gerakan tubuh yang menghina orang lain.



C. Perilaku Non-verbal tidak Langsung
Yaitu perilaku yang diwujudkan dengan mendiamkan seseorang, berbuat curang pada orang lain atau sahabat yang menyebabkan keretakan persahabatan, sengaja mengucilkan teman, mengirim sms ancaman atau surat kaleng tanpa ada nama pengirim. Perilaku ini dilakukan agar lawannya atau sahabatnya menjadi gelisah, terancam dan ketakutan.
D. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan. Pelecehan seksual dilakukan ssecara fisik atau lisan menggunakan ejekan atau kata-kata yang tidak sopan untuk menunjuk pada sekitar hal yang sensitif pada seksual. Secara fisik pelecehan seksual bisa dilakukan dengan sengaja memegang wilayah-wilayah seksual lawan jenis.
Pada tindak kekerasan seksual bisa juga terjadi dalam bentuk penghinaan-penghinaan terhadap lawan jenis atau sejanis seperti halnya mengatakan teman laki-laki “banci” bagi laki-laki yang feminim. Terjadinya tindak kekerasan ini bisa terjadi di dalam kelas ataupun di luar kelas, baik dalam situasi yang serius atau saat bersenda gurau.
2.3 Penyebab Terjadinya Tindakan School Bullying
Beberapa faktor diyakini menjadi penyebab terjadinya bullying,  keluarga, individual, dan sekolah adalah beberapa hal di antaranya. Pertama, faktor keluarga; pelaku bullying bisa jadi menerima perlakuan bullying pada dirinya, yang mungkin dilakukan oleh seseorang di dalam keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang agresif dan berlaku kasar akan meniru kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. Kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan orangtua kepada anak akan menjadi contoh perilaku. Hal ini akan diperparah dengan kurangnya kehangatan kasih sayang dan tiadanya dukungan dan pengarahan membuat anak memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pelaku bullying. Sebuah studi membuktikan bahwa perilaku agresif meningkat pada anak yang menyaksikan kekerasan yang dilakukan sang ayah terhadap ibunya.
Kedua, faktor kepribadian; salah satu faktor terbesar penyebab anak melakukan bullying adalah tempramen. Tempramen adalah karakterisktik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon emosional. Hal ini mengarah pada perkembangan tingkah laku personalitas dan sosial anak. Seseorang yang aktif dan impulsif lebih mungkin untuk berlaku bullying dibandingkan orang yang pasif atau pemalu.
Beberapa anak pelaku bullying sebagai jalan untuk mendapatkan popularitas, perhatian, atau memperoleh barang-barang yang diinginkannya. Biasanya mereka takut jika tindakan bullying menimpa diri mereka sehingga mereka mendahului berlaku bullying pada orang lain untuk membentuk citra sebagai pemberani. Meskipun beberapa pelaku bullying merasa tidak suka dengan perbuatan mereka, mereka tidak sungguh-sungguh menyadari akibat perbuatan mereka terhadap orang lain.
Ketiga, faktor sekolah; tingkat pengawasan di sekolah menentukan seberapa banyak dan seringnya terjadi peristiwa bullying. Sebagaimana rendahnya tingkat pengawasan di rumah, rendahnya pengawasan di sekolah berkaitan erat dengan berkembangnya perlaku bullying di kalangan siswa. Pentingnya pengawasan dilakukan terutama di tempat bermain dan lapangan, karena biasanya di kedua tempat tersebut perilaku bullying kerap dilakukan. Penanganan yang tepat dari guru atau pengawas terhadap peristiwa bullying adalah hal yang penting karena perilaku bullying yang tidak ditangani dengan baik akan meyebabkan kemungkinan perilaku itu terulang.
2.4 Potensi Kekerasan dan Bahaya Bullying
Banyak fakta menunjukan bahwa bullying dapat berdampak serius bahkan fatal pada perilaku perorangan maupun kelompok. Mengapa? Ini disebabkan karena bullying merupakan bentuk perilaku kekerasan. Perilaku tersebut dipicu oleh energi negative yang berwujud emosi (seperti kesal dan marah), yang dapat mendorong seseorang ataupun kelompok siswa untuk bertindak anarkis, bahkan secara ekstrem bisa menjadi pemicu tindakan kriminal, misalnya penganiayaan, pembunuhan.

Salah satu contoh kasus kriminal yang terkait dengan bullying di sekolah terjadi di Amerika Serikat. Pernah diberitakan dua orang siswa di salah satu SMA di Colorado, menembakkan senapan hingga menewaskan 13 siswa dan melukai sekitar 24 siswa yang lain, dan kemudian mereka bunuh diri. Pada waktu itu peristiwa tersebut disiarkan juga oleh stasiun televisi di Indonesia serta ramai dibahas di media massa. Fakta berdasarkan tinjauan psikologi menunjukan bahwa kedua siswa tersebut mempunyai catatan sebagai pribadi yang pernah mengalami intimidasi dalam waktu yang lama. Suatu temuan yang dirilis setelah peristiwa itu menunjukkan bahwa ternyata 60-80% siswa pernah mengalami bullying di sekolah.
2.5 Karakteristik Bully
Banyak pelaku bullying memiliki karakteristik psikologi. Tetapi umumnya perilaku bullying mereka dipengaruhi oleh toleransi sekolah atas perilaku bullying, sikap guru, dan faktor lingkungan yang lain. Selain itu, lingkungan keluarga juga mempengaruhi perilaku bullying siswa. Bully biasanya berasal dari keluarga yang memperlakukan mereka dengan kasar (Craig, Peters & Konarski, 1998, dan Pepler & Sedighdellam, 1998 dalam Sciarra (2004; 353).  Menurut Bosworth Espelage dan Simon (2001) dalam Aleude, Adeleke, Omoike, & Akpaida (2008;152) para bully biasanya laki-laki, populer dan memiliki kemampuan sosial yang bagus. Hal ini memudahkannya menarik banyak anggota dalam kelompok dan dengan mudah dapat memanipulasi orang lain.
Secara fisik, pelaku bullying tidak hanya didominasi oleh anak yang berfisik besar dan kuat, anak bertubuh kecil atau sedang yang memiliki dominasi psikologis yang besar di kalangan teman-temannya juga dapat menjadi pelaku bullying. Alasan yang paling jelas mengapa seseorang menjadi pelaku bullying adalah bahwa pelaku bullying merasakan kepuasan apabila ia berkuasa di kalangan teman sebayanya. Selain itu, tawa teman-teman sekelompok saat ia mempermainkan sang korban memberikan penguatan terhadap perilaku bullyingnya (Tim Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008; 14).




Selanjutnya Barbara Coloroso (2007; 55-56) memaparkan sifat-sifat yang dimiliki bully, yakni:
*      Suka mendominasi orang lain
*      Suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keinginannya
*      Sulit melihat situasi dari titik pandang orang lain
*      Hanya peduli pada keinginan dan kesenangan sendiri, bukan pada kebutuhan, hak-hak, dan perasaan-perasaan orang lain
*      Cenderung melukai anak lain ketika tidak ada pengawasan dari orang tua atau orang dewasa lainnya
*      Memandang anak yang lebih lemah sebagai mangsa
*      Menggunakan kesalahan, kritikan, dan tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapannya pada target
*      Tidak mau bertanggung jawab pada tindakannya
*      Tidak memiliki pandangan terhadap konsekuensi jangka pendek, jangka panjang dan yang tidak diinginkan dari perilakunya saat itu
2.6 Tipe-tipe Bully
Banyak ahli yang memberikan gambaran mengenai tipe-tipe pelaku bullying, namun dari sekian banyak pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum, tipe-tipe bully adalah sebagai berikut:
*      Tipe bully dilihat dari karakternya, yakni ada bully yang bersifat agresif dan pasif.
*      Tipe bully dilihat dari bentuk bullying yang dilakukan, yakni bully yang melakukan bullying secara fisik (seperti memukul, menendang, dan mendorong korbannya), verbal (seperti menghina dan mengejek) dan tidak langsung (seperti menyebar rumor).
*      Tipe bully yang sebelumnya menjadi korban bullying. Bully ini umumnya melakukan pembalasan dendam dengan cara membullying orang lain.
*      Tipe bully yang sengaja melakukan kekerasan untuk mendapatkan kekuasaan, kontrol, dan dominasi terhadap orang lain.
2.7 Karakteristik Korban Bullying
Biasanya seorang siswa yang menjadi korban bullying karena mereka terlihat tidak mampu melindungi diri sendiri, memiliki fisik yang lemah, mudah menuruti kemauan teman sebaya, atau memiliki sedikit teman. (E.V. Hodges, Boivin, Vitaro & Bukowski, 1999; E.V. Hodges, Malone & Perry, 1997, dan Olmeus, 1993, dalam Hanis & Guerra, 2000, dalam Sciarra, 2004; 355). Siswa yang gemuk, memakai kacamata, berbicara dengan aksen tertentu, atau memiliki perbedaan latar belakang etnis juga bisa menjadi korban bullying (Olweus, Limber dan Mihalic, 1999, dalam Hanis & Guerra, 2000, dalam Sciarra 2004; 355).
2.8 Upaya Penanganan atau Pencegahan School Bullying
Beberapa strategi penting yang dilakukan sekolah untuk menghentikan bullying adalah sebagai berikut.
*      Menyediakan pengawasan yang baik untuk anak/siswa.
*      Memberikan konsekuensi yang efektif/tegas untuk pelaku.
*      Adanya komunikasi yang baik antara orangtua dan guru.
*      Memberi kesempatan pada semua siswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal yang baik.
*      Menciptakan konteks sosial yang mendukung dan menyeluruh yang tidak mentolerir perilaku agresif dan kekerasan.
*      Guru memberikan contoh perilaku positif dalam mengajar, melatih, membina, berdoa, dan berbagai bentuk reinforcement lainnya.
*      Sekolah hendaknya proaktif dengan membuat program pengajaran keterampilan sosial, problem solving, manajemen konflik, dan pendidikan karakter.


BAB III
                                               PENUTUP         
3.1 Kesimpulan
Bullying adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang secara berulang yang memanfaatkan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik.
School Bullying termasuk dalam tindakan kekerasan yang merugikan orang lain. Selama ini upaya mengidentifikasi tindakan bullying siswa mengalami hambatan, karena Perilaku ini terselubung dan para korban yang enggan atau takut melaporkan tindakan bullying yang dialaminya. Tidak hanya itu, selama ini kampanye anti-bullying di sekolah dan masyarakat juga masih sedikit dan terbatas.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang siswa melakukan tindakan bullying antara lain: pertama faktor keluarga, seorang anak yang melakukan tindakan bullying terhadap temannya bisa jadi karena ia mendapatkan perlakuan yang sama dalam keluarganya, atau di karenakan kurangnya kontrol dari orang tua, faktor ke dua adalah dari individu anak itu sendiri, keadaan psikologi yang tempramen membuat seorang anak dapat melakukan tindakan kekerasan terhadap teman-temannya di sekolah, yang ketiga adalah faktor sekolah, faktor ini di karenakan kurangnya perhatian sekolah dan kurangnya sanksi yang tegas yang diberikan oleh pihak sekolah.
Banyak tipe bully yang digambarkan oleh para ahli antara lain dikelompokan sebagai berikut:
*      Tipe bully dilihat dari karakternya
*      Tipe bully dilihat dari bentuk bullying yang dilakukan
*      Tipe bully yang sebelumnya menjadi korban bullying
*      Tipe bully yang sengaja melakukan kekerasan



3.2 Saran
Sampai saat ini masalah school bullying ini masih terselubung di sekolah – sekolah, bahkan kurang mendapatkan perhatian dari pihak sekolah, dengan di biarkannya berlalu begitu saja, atau hanya dengan memberikan sanksi yang ringan kepada pelaku – pelakunya. Bahkan ada sekolah yang apabila sudah jatuh korban jiwa baru mulai terungkap adanya perilaku bullying di kalangan siswa – siswanya. Sudah saatnya sekolah – sekolah memberikan perhatian yang khusus terhadap masalah ini, karena semua orangtua pastinya menginginkan agar anak – anaknya mendapatkan perlakuan yang sewajarnya di sekolah baik dari pihak sekolah maupun teman – teman sebayanya, dan anak – anaknya merasa aman ketika belajar.
Upaya – upaya yang bisa dilakukan pihak sekolah untuk mengatasi masalah ini antara lain:
*      Memberikan sosialisasi kepada siswa – siswanya akan bahaya dan ancaman perilaku bullying.
*      Menetapkan kurikulum pengembangan diri, agar siswanya lebih banyak melakukan hal – hal positif dan tidak melakukan hal yang bisa memicu terjadinya bullying ketika waktu kosong
*      Mengadakan kerja sama dengan orangtua siswa untuk melakukan kontrol terhadap anak didiknya,
*      Memberikan sanksi yang tegas agar dapat meberikan efek jera bagi pelakunya.


Kamis, 28 Juli 2011

BULLYING DI SEKOLAH

School Bullying termasuk dalam tindakan kekerasan yang merugikan orang lain. Disebut kekerasan karena tindakan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain, atau biasa juga dengan tujuan tertentu, misalnya mencari perhatian, menginginkan kekuasaan di sekolah, ingin dibilang jagoan, pamer atau menunjukan kekayaan seperti motor baru.
Selama ini upaya mengidentifikasi tindakan bullying siswa mengalami hambatan. Perilaku bullying terselubung dan para korban yang enggan atau takut melaporkan tindakan bullying yang dialaminya membuat para guru dan orang tua siswa tidak dapat mendeteksi adanya tindakan bullying di sekolah. Tidak hanya itu, selama ini kampanye anti-bullying di sekolah dan masyarakat juga masih sedikit dan terbatas.
Bullying bisa dilakukan secara individual maupun berkelompok. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan kasus ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya, menurut catatan Bimmas Polri Metro Jaya, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar; tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain; tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri; dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan, sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.

Penelitian yang dilakukan oleh Dorothy Espelage, menunjukkan indikasi bahwa perilaku bullying menggejala secara umum. Para siswa melaporkan terjadinya bullying yang dilakukan antarsesama mereka. Sebagian mengatakan bahwa mereka melakukannya karena ikut-ikutan. Artinya, sebenarnya mereka tidak ingin melakukan bullying terhadap temannya, tetapi merasa takut untuk melawan kehendak kelompok gangnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Tonja Nansel dan kawan-kawan, mendapatkan bahwa 17 persen dari siswa melaporkan bahwa mereka menjadi korban bullying di sekolah, sedangkan 19 persen mengaku melakukan bullying terhadap temannya. Enam persen melaporkan mereka menjadi pelaku sekaligus korban bullying. 
Banyak fakta menunjukan bahwa bullying dapat berdampak serius bahkan fatal pada perilaku perorangan maupun kelompok. Mengapa? Ini disebabkan karena bullying merupakan bentuk perilaku kekerasan. Perilaku tersebut dipicu oleh energi negative yang berwujud emosi (seperti kesal dan marah), yang dapat mendorong seseorang ataupun kelompok siswa untuk bertindak anarkis, bahkan secara ekstrem bisa menjadi pemicu tindakan kriminal, misalnya penganiayaan, pembunuhan.
Salah satu contoh kasus criminal yang terkait dengan bullying di sekolah terjadi di Amerika Serikat. Pernah diberitakan dua orang siswa di salah satu SMA di Colorado, menembakkan senapan hingga menewaskan 13 siswa dan melukai sekitar 24 siswa yang lain, dan kemudian mereka bunuh diri. Pada waktu itu peristiwa tersebut disiarkan juga oleh stasiun televisi di Indonesia serta ramai dibahas di media massa. Fakta berdasarkan tinjauan psikologi menunjukan bahwa kedua siswa tersebut mempunyai catatan sebagai pribadi yang pernah mengalami intimidasi dalam waktu yang lama. Suatu temuan yang dirilis setelah peristiwa itu menunjukkan bahwa ternyata 60-80% siswa pernah mengalami bullying di sekolah.